MEDIASELEKTIF.COM - Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Universitas Sumatera Utara (USU) dijadikan tempat budidaya maggot. TPST yang diresmikan Gubernur Sumut Bobby Nasution Mei lalu ini, menjadi simbol penanganan sampah yang produktif di lingkungan kampus ini.
Menurut Gubernur Bobby keberhasilan pengelolaan sampah bukan hanya menjadi beban tanggung jawab pemerintah atau kampus, melainkan menjadi tugas bersama, termasuk masyarakat.
Lahirnya TPST ini tak bisa dilepaskan dari keresahan sekelompok dosen dari Program Studi Teknik Lingkungan USU. Salah satunya Zaid Perdana Nasution ST MT PhD.
“Waktu itu kami membahas pengolahan sampah di USU. Ada pengelolaan, tapi belum berbasis keilmuan yang kami miliki. Padahal, kami punya pengetahuan, pengalaman dan teknologi untuk itu,” kenang Zaid, Senin (25/8/2025)
Dari diskusi itu, sebut Zaid, lahirlah ide besar untuk membangun TPST yang tak sekadar membersihkan sampah, tapi menjadi laboratorium hidup untuk riset, edukasi, hingga peluang komersialisasi yang sangat benderang.
"Proposal pun diajukan ke Rektor USU Prof Dr Muryanto Amin Respons Prof Muryanto positif sekaligus menantang. Sang rektor meminta agar program TPST tidak berhenti hanya pada pengelolaan teknis, tetapi terintegrasi dengan penelitian lintas disiplin, yang memungkinkan tumbuhnya potensi komersialisasi yang nantinya akan menghidupi TPST secara mandiri," kata Zaid.
Zaid mengatakan, langkah awal untuk pilot project dilakukan di 4 fakultas, yakni fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, fakultas teknik, fakultas kedokteran dan fakultas psikologi, serta biro rektor. Tempat sampah tiga serangkai dengan tiga warna mencolok (merah, kuning, hijau) dipasang di titik-titik strategis untuk pemilahan awal sampah organik, anorganik, dan residu/bahan berbahaya dan beracun.
Alur pengelolaan pun dirancang ketat, yang dimulai dari pengangkutan sesuai jenis, pemilahan, pencacahan, lalu diolah menjadi produk-produk bernilai.
Sampah plastik diproses melalui pirolisis menjadi solar dan bensin. Sampah organik, termasuk daun dan ranting, diubah menjadi kompos atau Refuse-Derived Fuel (RDF). Sementara sisa makanan, diolah menjadi pakan maggot (larva lalat Black Soldier Fly) yang kemudian menjadi “aktor utama” dalam siklus ini.
“Maggot ini pengurai ulung, sekaligus sumber protein. Setelah dewasa, bisa dijual untuk pakan ayam, bebek, hingga ikan. Produk turunan seperti tepung maggot atau pelet pakan sangat diminati, bahkan pasarnya sudah tembus internasional,” jelas Zaid.
Harga maggot pun diklaim cukup menggiurkan. Maggot basah dijual Rp5.000–10.000 per kilo, maggot kering Rp75.000/kg, dan kualitas ekspor bisa menembus Rp100.000/kg.
Dari tiga kilo maggot basah, dapat dihasilkan satu kilo maggot kering. Di luar negeri, tren konsumsi maggot untuk pangan manusia bahkan mulai tumbuh, menjadikannya “emas putih” bernilai tinggi.
Fasilitas TPST USU kini dilengkapi conveyor belt, mesin cacah plastik, mesin pengering maggot, hingga mesin pelet pakan. Semua ini mendukung konsep circular economy: sampah bukan lagi limbah, melainkan sumber daya baru.
Kepala Humas USU, Amalia Meutia M Psi menyebut konsep ini memang belum berbentuk bank sampah berbasis tabungan, tetapi sudah sejalan dengan prinsip ekonomi sirkular.
“Ke depan, kami akan menjajaki model insentif agar mahasiswa dan masyarakat sekitar lebih aktif berpartisipasi,” ujarnya.(Ir/MSC)