MEDIASELEKTIF.COM - Senyum itu merekah pelan, seperti melepaskan lelah puluhan tahun. Di usia menuju 57 tahun, dengan masa tugas yang hanya tersisa 1,5 tahun sebelum purnatugas, Nurbaini Maha akhirnya menggenggam SK menjadi seorang PPPK Kementerian Agama Kabupaten Dairi.
Baginya, hari itu bukan sekadar pelantikan, melainkan jawaban dari doa yang ia bawa sepanjang hidupnya.
Perjalanan Nurbaini tidak pernah mudah. Ia memulainya di tempat yang jauh dari gemerlap: SMP Rakyat Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat) pada awal 2000-an. Sekolah kecil yang berdiri dari solidaritas masyarakat, tempat guru-gurunya menerima gaji dari uang komite yang kadang tidak mencukupi.
Dua puluh tahun ia berdiri di depan kelas, mengajar tanpa janji masa depan, tanpa status, dan tanpa kepastian.
“Waktu itu saya tidak berpikir apa-apa soal status. Yang penting, saya bisa mengajar,” ucap Nurbaini pelan, seolah membuka pintu kenangan yang telah lama ia simpan.
Setelah 20 tahun yang sunyi itu, ia melanjutkan pengabdiannya sebagai Penyuluh Agama Islam di KUA Siempat Nempu Hilir. Di gang-gang kecil desa, di teras rumah warga, di ruang tamu yang sempit namun hangat, ia menemui masyarakat satu per satu.
Ia bicara tentang sabar, tentang syukur, tentang menerima hidup apa adanya. Dakwah baginya bukan suara di mimbar, melainkan kehadiran di tengah masyarakat.
Namun perjalanan menuju PPPK kembali menguji ketabahannya.
Sebagai peserta Formasi Optimalisasi, ia harus siap ditempatkan jauh dari Dairi.
Dan ketika pengumuman itu keluar, nama Nurbaini Maha tertera di Purwokerto, Jawa Timur. Sebuah kabar yang membuat tubuhnya lemas seketika.
“Saya sempat goyah, sungguh goyah. Saya tanya diri saya, sanggupkah saya? Usia sudah tidak muda. Jarak begitu jauh,” tuturnya menahan getar yang sempat kembali menguasai hatinya.
Malam itu, ia bergulat dengan pikirannya sendiri. Bagaimana mungkin ia meninggalkan suami dan anak-anak? Bagaimana memulai kehidupan baru ketika masa pengabdiannya tinggal 1,5 tahun lagi?
Namun di tengah kegundahan itu, ia kembali pada satu hal yang tidak pernah hilang: doa. Doa keluarga, doa anak-anak dan cucu, dan terutama doa suaminya, seorang muallaf yang selalu menguatkan bahwa setiap langkah hidup adalah bagian dari dakwah yang tidak boleh terhenti.
“Keluarga bilang, coba dulu. Doakan dulu. Tuhan tidak mungkin salah menempatkan kita,” tuturnya.
Doa itu akhirnya berbuah. Setelah proses administrasi dan pemetaan ulang, penempatan dikembalikan ke domisili masing-masing. Nurbaini membaca pengumuman itu berulang kali hingga matanya berkaca-kaca. Baginya, kabar itu bukan hanya keputusan pemerintah, tetapi penguatan bahwa Tuhan menjaga langkahnya sejak awal.
Ketika SK itu akhirnya berada di tangannya, ia menatapnya lama. Bukan sekadar simbol status, tetapi tanda bahwa seluruh pengorbanannya dua dekade di sekolah rakyat, tahun-tahun penyuluhan desa, pergolakan batin karena penempatan jauh, dan harapan yang berkali-kali hampir redup hingga semuanya terbayar pada waktu yang paling tepat.
“Saya merasa Tuhan tuntun langkah saya pelan-pelan. Tidak cepat, tapi pas waktunya,” ujarnya lembut.
Hari pelantikan itu menjadi lebih dari sekadar acara resmi. Itu adalah penutup yang manis bagi perjalanan panjangnya, sekaligus awal baru.
Meski waktu tugasnya tersisa tidak banyak lagi. Ia membuktikan bahwa usia bukan batas, jarak bukan halangan, dan bahwa pengabdian yang tulus selalu menemukan jalan kembali ke rumah.
Nurbaini Maha, perempuan yang memulai karier dari sekolah rakyat Ampera, kini berdiri tegap sebagai PPPK Kemenag Dairi, menyelesaikan sisa pengabdiannya dengan hati penuh syukur, dan keyakinan bahwa perjalanan yang tulus tidak pernah mengenal kata terlambat.(Rel/MSC)
