MEDIASELEKTIF
– Sejumlah warga mengatasnamakan pejuang wakaf, Selasa (6/7/2021) mendatangi kantor
wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara (Sumut). Mereka bermaksud
menagih janji dengan mempertanyakan langsung kejelasan status tanah yang mereka
miliki, berlokasi di Jalan Eka Surya Dalam, Kelurahan Delitua, Kecamatan
Namorambe, Kabupaten Deli Serdang.
Keributan
justru terjadi antara warga dan ASN (Aparatur Sipil Negara) BPN Sumut, berawal
saat seorang ASN memberi keterangan kepada sejumlah warga di ruang tunggu
kantor BPN, mengatakan yang boleh masuk hanya perwakilan tiga orang saja (untuk
menemui Kepala Kantor Wilayah BPN Sumut, Dadang Suhendi).
"Kami
ingin bertemu langsung dengan Pak Dadang. Kami terima cuma tiga orang yang
masuk, tapi jika langsung Pak Dadang yang menerima. Tapi kalau perwakilan, kami
ingin lima orang," kata salah seorang warga, Asmui Parinduri. "Saya
cuma menyampaikan saja perintah atasan, Pak. Yang boleh masuk hanya tiga
orang," jawab ASN tersebut.
Mendengar jawaban itu, secara spontan Asmui
melemparkan air mineral cup dengan keras ke lantai, sehingga memicu suasana
menjadi panas.
"Kami
sudah tujuh kali bolak balik ke kantor BPN ini untuk menagih janji Pak Kanwil
atas tanah kami. Kami mau ketemu langsung dengan beliau, dan kalau hanya
perwakilan, kami mau lima orang yang masuk," katanya.
Sejumlah
ASN lain coba melerai keributan tersebut. Bahkan si ASN wanita yang semula
menyampaikan informasi kepada warga, menyebut tindakan warga itu sebagai
perlakuan anarkis. Tak lama, seorang pejabat BPN hadir dan mencoba menenangkan
warga. "Sudah ya, Pak, semua bisa kita bicarakan baik-baik. Orang
bapak-bapak boleh masuk lima orang namun diterima oleh kepala bidang terkait,
karena kebetulan Pak Kakanwil lagi ujian secara zoom meeting. Besok pukul 10.00
WIB, beliau janji untuk menerima bapak-bapak sekalian. Hari ini kita buat dulu
notulensi rapatnya," kata pejabat wanita berhijab tersebut.
Lima
perwakilan warga akhirnya ditampung di Ruang Mediasi oleh Kabid Sengketa BPN
Sumut, Khalid Handoyo. Khalid didampingi jajarannya yakni, Riadi Tanjung dan
Misniati Sinaga. Sementara perwakilan warga, antara lain Affan Lubis, Asmui
Parinduri, Muhammad Nuh, dan Khairul Chaniago. Kesempatan itu, Khalid hanya
membuka ruang agar warga menyampaikan keluhannya, tanpa menjawab substansi
permasalahan yang dikemukakan.
"Secara
langsung besok bisa bapak-bapak sampaikan masalahnya kepada Pak Kakanwil. Saya
kebetulan baru (menjabat) di sini, persoalannya saya belum paham,"
ungkapnya.
Affan Lubis menceritakan secara ringkas pokok
masalah dan tuntutan mereka. Yakni telah hilang di peta bidang dalam sertifikat
BPN Deli Serdang, posisi jalan masuk ke areal tanah warga. Disebutnya, adalah
Makmur Wijaya yang memiliki tanah berbatasan dengan tanah mereka, sekarang ini
telah menembok jalan tersebut sehingga warga kesulitan untuk masuk.
"Masalahnya
ini sertifikat yang dikeluarkan BPN Deli Serdang, bahwa di peta bidang itu
mereka hilangkan (akses) jalan yang seolah itu menjadi tanahnya si Makmur
Wijaya. Nah, 80 kavlingan milik warga yang di sana itu, jadi sulit masuk akibat
tembok yang sudah dia bangun. Itu kan daerah perbatasan ya, di sertifikat BPN
Kota Medan, itu disebut jalan bukan tanah. Kalaupun itu tanah dia, tentu ada
namanya fasum agar orang tetap bisa lewat. Kalau dulu mobil pun bisa masuk ke
sana," terangnya.
Warga terus berjuang atas haknya. Masalah ini
bahkan sudah pernah digelarperkarakan oleh BPN Sumut, namun tidak memanggil
Makmur Wijaya, selaku objek yang dipermasalahkan. Bahkan di Biro Pemerintahan
dan Otda Setdaprovsu pun, sambung Affan, telah dilaksanakan pertemuan atas
masalah dimaksud.
"Tapi
sampai sekarang belum ada lagi tindaklanjutnya, termasuk di BPN Sumut sendiri.
Makanya ini yang kami tuntut. Karena mulanya kami bertemu Pak Dadang saat Ustad
Tengku Zulkarnain (Alm) mengajak untuk sidang lapangan, dan beliau berjanji
siap membantu mencari win-win solution-nya," katanya.
M Nuh menambahkan, warga memperjuangkan haknya
atas amanah Alm. Ustad Tengku Zulkarnain, agar di tanah tersebut nantinya bisa
dibangun Rumah Tahfiz Quran, bernama Umar Bin Khattab RA. Surat dari BPN Deli
Serdang itu disebut dia, adalah pokok masalahnya karena menghilangkan status
jalan.
"Muncul
surat dari Makmur Wijaya yang dikeluarkan BPN Deli Serdang nomor 350 dan 351
tahun 1984 (yang sebelumnya tidak ada sertifikat tersebut). Padahal sertifikat
BPN Medan dari punya Ibu Sabrina (mantan Sekdaprovsu) yang kami lihat,
statusnya itu adalah jalan. Tapi kenapa hingga kini pun, Makmur Wijaya tidak
mampu dihadirkan BPN untuk dimintai penjelasan. Padahal saya sudah beri tau nomor
telepon dan alamat rumahnya. Di mana lagi kesulitannya?" ungkap pria yang
biasa dipanggil Agam itu.
Agam menyebut lagi, masalah ini sudah pihaknya
laporkan ke Polda Sumut atas nama Makmur Wijaya, terlapor dugaan perampasan
jalan atau fasilitas umum. "Tapi oleh Poldasu justru laporan kami
didisposisi ke Polrestabes, lalu dari Polrestabes didisposisi lagi ke Polsek
Delitua. Sampai sekarang Alhamdulillah si Makmur Wijaya tak pernah dipanggil
sekalipun," katanya.
Saking getolnya memperjuangkan hak umat,
dirinya mengaku pernah mendapat aksi kekerasan dan intimidasi dari yang diduga
orang suruhan Makmur Wijaya. "Saya pernah dilempar batu di Jalan Karya
Jaya, bahkan sebelumnya di lokasi (tanah bersengketa), dihadang oleh
orang-orang suruhan Makmur Wijaya," pungkasnya.(Cok/MSC)