Era Keberlimpahan Informasi: Keuntungan atau Tantangan? Oleh: Tengku Habib Ihza Husny

Editor: mediaselektif.com author photo

 


Ilustrasi

Era Keberlimpahan Informasi: Keuntungan atau Tantangan?

Oleh: Tengku Habib Ihza Husny


Jakarta (27/05/2023) – Perkembangan teknologi dan informasi mulai dirasakan pada awal tahun 2000-an. Hal ini ditandai oleh lengsernya Presiden Soeharto dari jabatan presidennya yang merupakan konklusi dari krisis moneter 1998. Setelah terjadi pergantian kepemimpinan, terjadi pula transisi persebaran informasi dari era kelangkaan (scarcity) informasi menjadi era keberlimpahan (abundant) informasi.

 

Pada era kelangkaan informasi, masyarakat sulit untuk mendapatkan informasi yang faktual. Karena media-media mainstream yang ada pada saat itu semua berada di bawah kendali pemerintah secara tidak langsung. Sebut saja misalnya televisi, radio, koran, atau majalah. Instansi-instansi publik tidak diwajibkan untuk memberikan informasi publik (seperti laporan keuangan atau laporan tahunan) karena saat itu belum ada Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Sehingga, masyarakat sulit untuk melakukan crosscheck apakah suatu informasi itu benar adanya atau hanya hoax semata. Ditambah pula dengan belum masifnya perkembangan internet seperti saat ini.

 

Saat ini, kita telah memasuki era keberlimpahan informasi yang ditandai dengan media massa yang dijamin kebebasan persnya dan adanya media alternatif yaitu media sosial. Media sosial merupakan anomali dalam persebaran informasi. Media sosial baru muncul di tahun 2000-an dan mulai berkembang di Indonesia sangat pesat karena kita bisa berekspresi sesuka hati dan yang paling penting untuk menggunakannya tidak berbayar alias gratis. Adanya media sosial ini memainkan peran sentral dalam persebaran dan perputaran informasi secara cepat.

 

Persebaran informasi yang terjadi secara cepat dan berlimpah semakin tidak terkontrol karena banyak disalahgunakan oleh beberapa oknum serta didukung oleh tingkat literasi yang rendah oleh sebagian masyarakat Indonesia walaupun tingkat keingintahuannya sangat tinggi. Ketika influencer atau pejabat publik mengemukakan opini atau gagasan melalui akun sosial medianya, mayoritas komentar yang muncul adalah langsung menyetujuinya, langsung menolaknya, atau hanya sekedar memuji atau mencaci pemilik akun tersebut. Komentar itu cenderung mengarah pada perdebatan yang tidak membahas substansi dari opini yang dinyatakan oleh sang pemilik akun. Pada akhirnya, yang terjadi di kolom komentar adalah debat kusir yang berkepanjangan.

 

Sering terjadi juga, dimana aparat penegak hukum menindak suatu peristiwa kriminal ketika peristiwa tersebut telah viral di media sosial. Hal ini bisa terjadi karena adanya keseragaman tekanan dari opini publik yang disampaikan langsung kepada akun institusi terkait melalui media sosial. Opini masyarakat menjadi kekuatan yang sangat besar terhadap isu viral di media sosial. Terlebih lagi jika opini tersebut bersifat mayoritas maka akan cepat menyebar dan diafirmasi oleh orang lainnya. Padahal opini tersebut belum tentu bersifat faktual.

 

Opini masyarakat bisa terbentuk secara mayoritas disebabkan karena kebanyakan orang cenderung mementingkan perasaan dibandingkan dengan logika. Misal ketika ada hal yang lagi menjadi viral, orang akan merasa bahwa dirinya pernah merasa di posisi tersebut dan menyuarakan kejadian tersebut dan muncul orang lain yang menyetujuinya dengan alasan yang sama sampai terbentuklah opini mayoritas tersebut. Padahal faktor penyebabnya bisa saja berbeda. Orang akan mencari apa yang benar dan apa yang salah. Jika ini terjadi, maka yang ada hanya perdebatan dan perpecahan. Masyarakat akan terkotak-kotakan akibat adanya perbedaan pandangan ini.

 

Saat ini, banyak orang dalam mencari berita atau informasi secara “selektif” yang negatif. Dalam artian, seseorang mencari berita sesuai dengan apa yang diyakininya itu benar bukan apa yang seharusnya benar. Mengingat banyaknya informasi yang beredar baik melalui media massa atau media sosial, bukan tidak mungkin untuk mencari informasi yang sesuai dengan preferensi orang tersebut dan menolak informasi yang tidak termasuk dalam preferensinya.

 

Informasi berguna untuk mencari kebenaran. Memang kebenaran bukanlah suatu hal yang mutlak atau absolut. Kebenaran adalah masalah perspektif. Kebenaran bisa menjadi dua hal atau lebih yang berbeda pada satu waktu tergantung perspektif apa atau siapa yang digunakan dalam memahaminya. Seperti yang lagi viral akhir-akhir ini saat tulisan ini dibuat, ada seseorang yang berpengaruh mengatakan Indonesia membayar utang Rp1.000 Triliun tiap tahunnya. Apakah hal itu benar? Tentu saja benar. Jadi mengapa viral karena Masyarakat sering mengasosiasikan utang pemerintah merupakan utang luar negeri. Sehingga menganggap pemerintah menggunakan uang hasil pajak hanya untuk membayar utang ke negara lain saja. Jika dicari informasi lebih lanjut, mayoritas pembayaran utang tersebut adalah untuk membayar kepada pemegang surat berharga negara (SBN).

 

Era keberlimpahan informasi menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia karena banyak Masyarakat yang belum siap akan hal itu. Kita sebagai bagian dari Masyarakat harus objektif terhadap semua informasi yang beredar dan melakukan komparisi dengan cara mencari informasi yang sama melalui sumber lain. Sehingga, kita dapat mengurangi bias-bias yang ada.

 

*Penulis merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan saat ini melanjutkan pendidikannya di Magister Hukum Universitas Indonesia. Era Keberlimpahan Informasi: Keuntungan atau Tantangan?

Oleh: Tengku Habib Ihza Husny

Share:


Komentar

Berita Terkini