PERTANIAN KOMUNAL, HUMANISME, DAN POLITICAL OF LIFE: Membaca Kembali Nasib Petani di Tengah Koalisi Kekuasaan dan Oligarki

Editor: Ahmad Zidane author photo

Sumber Gambar: spi.or.id

Penulis: Yandi Syaputra Hasibuan, S.S., M.A Gmail: yandihasibuan17@gmail.com

MEDIASELEKTIF.COM-Sejak awal peradaban manusia, pertanian tidak pernah sekadar soal menanam dan memanen. Ia adalah fondasi kehidupan, tempat manusia membangun relasi dengan alam, dengan sesamanya, dan dengan masa depan. Namun justru karena posisinya yang mendasar itulah, pertanian selalu menjadi sasaran kekuasaan.
Menguasai pertanian berarti menguasai kehidupan. Mengendalikan pangan berarti mengendalikan manusia. Di titik inilah pertanian komunal, khususnya yang dijalankan oleh keluarga tani, selalu berada dalam posisi ambigu: dipuji dalam pidato, tetapi dicurigai dalam praktik; disebut sebagai “akar budaya”, tetapi ditekan oleh kebijakan; dijadikan simbol, tetapi disingkirkan secara struktural. Tulisan ini tidak hendak meromantisasi pertanian komunal. Sebaliknya,
ia ingin menunjukkan bahwa ketakutan terhadap pertanian komunal bersumber dari satu hal mendasar: pertanian komunal mengandung potensi pembangkangan terhadap logika kekuasaan modern.

Rasionalitas yang Ditolak: Chayanov dan Keluarga Tani

Alexander V. Chayanov sejak awal telah mengganggu cara berpikir ekonomi arus utama. Ia menunjukkan bahwa keluarga tani bekerja bukan untuk memaksimalkan laba, melainkan untuk menyeimbangkan kebutuhan hidup
dan beban kerja. Dalam dunia Chayanov, petani bukan aktor ekonomi yang “belum berkembang”, melainkan aktor dengan rasionalitas berbeda, rasionalitas yang menempatkan kehidupan, bukan akumulasi, sebagai pusat keputusan. Namun rasionalitas inilah yang dianggap menyimpang oleh
kapitalisme agraria. Sistem yang bertumpu pada pertumbuhan tanpa batas tidak bisa menerima batas yang ditetapkan oleh tubuh manusia, keluarga, dan alam. Maka keluarga tani harus “dimodernkan”, dipaksa masuk pasar, dipisahkan dari alat produksinya, dan akhirnya dipatahkan sebagai subjek mandiri.

Hulu–Hilir dan Kekerasan yang Disamarkan
 Dalam narasi pembangunan, petani sering dijanjikan kedaulatan melalui integrasi hulu–hilir. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Hulu, tempat petani bekerja dengan tanah dan tubuhnya, dikendalikan oleh hilir yang jauh, abstrak, dan berwajah modal. Benih dipatenkan. Pupuk dimonopoli. Harga ditentukan pasar global.Risiko dilimpahkan ke petani. James C. Scott menyebut kondisi ini sebagai pelanggaran terhadap
moral ekonomy petani. Ketika sistem mengabaikan ambang aman subsistensi, petani tidak hanya kehilangan penghasilan, tetapi kehilangan rasa adil. Dan ketika rasa adil dirusak, perlawanan, baik diam maupun terbuka, menjadi keniscayaan

Migrasi Petani dan Desa yang Dikosongkan Tekanan ekonomi ini mendorong petani meninggalkan desa. Migrasi sering dibingkai sebagai pilihan rasional individu, tetapi narasi itu menutupi fakta
bahwa pilihan tersebut diproduksi oleh struktur yang menindas. Petani tidak “memilih” kota; mereka dididorong keluar dari desa. Desa yang ditinggalkan kemudian berubah fungsi:
Dari ruang hidup menjadi ruang investasi, Dari tanah warisan menjadi komoditas, Dari lanskap sosial menjadi peta spekulasi. Istilah “desa modern” dalam konteks ini patut dicurigai. Ia sering kali
bukan tentang meningkatkan kualitas hidup warga desa, melainkan tahap awal konversi desa menjadi kota, tempat kekuasaan dan oligarki menemukan ruang baru untuk ekspansi.

Oligarki Agraria dan Kehendak Menguasai Kehidupan 
Apa yang terjadi bukan sekadar proses ekonomi, melainkan koalisi antara kekuasaan politik dan oligarki modal. Mereka bertemu dalam satu kepentingan: mengendalikan sumber-sumber kehidupan. Tanah, air, dan benih tidak lagi dipandang sebagai syarat hidup bersama, melainkan sebagai instrumen dominasi. Dalam kerangka ini, pertanian komunal menjadi berbahaya. Ia
menghambat monopoli, memperkuat solidaritas, dan menjaga otonomi petani. Maka ruangnya dipersempit, dicap tidak efisien, atau dilabeli utopis. Dengan demikian petani makmur bukan tujuan, melainkan masalah, menjadi masalah bagi mereka karena tidak bisa mengendalikan petani sesuai kehendak tujuan koalisi kekuasaan yang notabene penyembah berhala (material/uang).

Political of Life: Ketika Kehidupan Menjadi Medan Pertarungan 
Di sinilah konsep political of life menjadi penting. Pertanian komunal bukan sekadar model produksi, melainkan arena politik tempat kehidupan dipertaruhkan. Kekuasaan modern tidak puas mengatur negara; ia ingin mengatur cara hidup, apa yang ditanam, bagaimana bekerja, kapan beristirahat, dan ke mana bermigrasi. 
Pertanian komunal tentu saja menolak kekerasan yang halus itu
dengan cara sunyi: Dengan bertahan, Dengan merawat, Dengan berbagi. Dan justru karena ia sunyi, ia menakutkan. 
Oleh karena itu perlu diusung humanisme, humanisme yang ditawarkan bukanlah humanisme abstrak yang mengawang dan tidak berpijak di bumi. Ia adalah humanisme yang membumi, yang mengakui rasio sekaligus empati.
 Dalam humanisme ini, manusia tidak berdiri di atas alam, melainkan bersama alam. Ketika manusia berhenti rakus, alam tidak lagi dilukai. Pertanian komunal adalah praktik humanisme nyata. Ia menolak uang
sebagai sesembahan, tanpa menafikan perannya. Uang adalah alat, bukan tujuan. Kehidupan adalah pusat, bukan angka.

Penutup: Mengapa Pertanian Komunal Harus Dipertahankan

Pertanian komunal selalu dicurigai bukan karena ia gagal menjawab tantangan zaman, melainkan karena ia menyimpan kemungkinan yang paling ditakuti oleh kekuasaan: bahwa manusia dapat hidup bermartabat tanpa tunduk sepenuhnya pada oligarki. Dalam dunia yang menjadikan ketergantungan sebagai instrumen kontrol, kemandirian petani dan solidaritas komunal adalah bentuk pembangkangan yang sunyi namun nyata. Ia tidakberteriak, tidak mengibarkan slogan, tetapi tetap bertahan, dan justru karena itulah ia dianggap berbahaya. Selama tanah diperlakukan semata-mata sebagai aset ekonomi dan
manusia direduksi menjadi variabel biaya, pertanian komunal akan terus dicap usang, tidak efisien, bahkan irasional. Label-label ini bekerja sebagai alat ideologis untuk menyingkirkan praktik hidup yang tidak tunduk pada logika akumulasi. Pertanian komunal tidak gagal memenuhi standar sistem; ia menolak standar itu sejak awal, karena menempatkan kehidupan, bukan laba, sebagai ukuran utama keberhasilan. Namun sejarah dan krisis zaman ini memperlihatkan ironi yang tajam.
Di tengah krisis ekologi akibat eksploitasi tanpa batas, krisis pangan akibat rantai pasok yang rapuh, dan krisis kemanusiaan akibat ketimpangan struktural, justru pertanian komunal memperlihatkan daya tahannya. Ia merawat tanah alih-alih mengurasnya, menjaga benih alih-alih memonopolinya, dan mengikat manusia dalam relasi sosial yang saling menopang, bukan saling menyingkirkan. Dengan demikian, pertanian komunal tidak dapat lagi dibaca sebagai sisa masa lalu atau nostalgia pedesaan. Ia adalah masa depan yang ditunda secara paksa, bukan karena ketiadaan relevansi, melainkan karena keberadaannya mengganggu fondasi ideologis kekuasaan yang bertumpu pada penguasaan sumber-sumber kehidupan. 
Menolak pertanian komunal berarti menunda kemungkinan hidup yang lebih adil; mempertahankannya berarti membuka kembali ruang bagi humanisme untuk berakar dalam praktik sehari-hari. Di titik inilah pertaruhan sesungguhnya menjadi jelas: apakah masyarakat akan terus membiarkan kehidupan diatur oleh logika oligarki, atau berani mengakui bahwa ada cara lain untuk hidup, lebih lambat, lebih adil, dan lebih manusiawi. Pertanian komunal tidak menawarkan utopia instan, tetapi ia menawarkan batas etis bagi kekuasaan. Dan barangkali, di zaman ketika segala sesuatu diukur dengan keuntungan, justru batas inilah yang paling kita butuhkan.

Daftar Bacaan: Chayanov, A. V. The Theory of Peasant Economy. Scott, J. C. The Moral Economy of the Peasant. Scott, J. C. Seeing Like a State. van der Ploeg, J. D. The New Peasantries. van der Ploeg, J. D. Farmers’ Struggle for Autonomy. Polanyi, K. The Great Transformation. Shiva, V. Who Really Feeds the World




 

Share:


Komentar

Berita Terkini