REFORMA AGRARIA DAN KEGAGALAN NEGARA INDONESIA: Dari Amanat Konstitusi ke Reproduksi Ketimpangan Agraria

Editor: Ahmad Zidane author photo

       Sumber Gambar: Agrarian Resource Center 

Penulis: Yandi Syaputra Hasibuan, S.S., M.A

MEDIASELEKTIF.COM- Reforma agraria merupakan salah satu agenda paling fundamental dalam sejarah Indonesia modern. Ia bukan sekadar kebijakan sektoral di bidang pertanahan atau pertanian, melainkan fondasi keadilan sosial dan kedaulatan ekonomi bangsa. Sejak awal kemerdekaan, persoalan penguasaan tanah telah disadari sebagai akar ketimpangan struktural yang diwariskan kolonialisme dan feodalisme. Kesadaran itu kemudian dilembagakan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Namun, lebih dari enam puluh tahun setelah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 disahkan, realitas agraria Indonesia justru menunjukkan paradoks tajam. Ketimpangan penguasaan lahan semakin ekstrem, konflik agraria terus berulang, dan konsentrasi tanah dalam skala besar dilindungi oleh legalitas negara. Kondisi ini menunjukkan bahwa reforma agraria bukan gagal karena tidak penting, melainkan justru karena terlalu penting dan terlalu politis untuk sungguh-sungguh dijalankan. 

Tulisan ini berangkat dari refleksi kritis mengenai kegagalan reforma agraria Indonesia, terutama dengan menelusuri akar historisnya sejak era Demokrasi Terpimpin hingga reproduksinya dalam praktik kekuasaan hari ini. Tesis utama tulisan ini adalah: kegagalan reforma agraria bukan kecelakaan sejarah, melainkan hasil dari cara negara dan kekuasaan direproduksi lintas rezim.

Reforma Agraria dalam Kerangka Konstitusional

Pasal 33 UUD 1945 meletakkan dasar filosofis dan politis pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Negara tidak diposisikan sebagai pemilik absolut, melainkan sebagai penguasa mandat yang berkewajiban mengatur, mengelola, dan mendistribusikan sumber daya demi kemakmuran seluruh rakyat. Dalam kerangka ini, tanah bukan semata komoditas ekonomi, melainkan basis kehidupan, produksi, dan peradaban. UUPA 1960 merupakan upaya paling sistematis untuk menerjemahkan amanat konstitusi tersebut. 

Undang-undang ini memperkenalkan prinsip pembatasan penguasaan tanah, larangan pemilikan tanah absentee, serta redistribusi tanah kepada petani tak bertanah. Reforma agraria dimaksudkan sebagai rekayasa ulang struktur sosial pedesaan, bukan sekadar penataan administrasi pertanahan. Namun, sejak awal pelaksanaannya, reforma agraria dihadapkan pada

resistensi sosial, kelemahan birokrasi, dan tarik-menarik kepentingan politik. Situasi ini menunjukkan bahwa persoalan agraria selalu berada di jantung konflik kekuasaan, bukan di pinggiran kebijakan.

Pelaksanaan Landreform pada Masa Sukarno: Hambatan dan Kontradiksi

Pada masa Demokrasi Terpimpin, Presiden Sukarno menempatkan

landreform sebagai bagian dari revolusi nasional. Target redistribusi tanah yang ambisius, sekitar satu juta hektare, menunjukkan keseriusan politik negara. Namun dalam praktiknya, berbagai hambatan struktural muncul. Pertama, birokrasi agraria bekerja lamban dan tidak solid. 

Aparat negara di tingkat pusat dan di daerah tidak memiliki kapasitas administratif yang memadai, sekaligus tidak sepenuhnya sejalan dengan semangat radikal UUPA. 

Kedua, pemilik tanah besar menggunakan berbagai strategi penghindaran, termasuk mengalihkan status tanah menjadi wakaf atau mengklaimnya untuk kepentingan umum sebelum eksekusi landreform dilakukan. 

Ketiga, koordinasi pusat–daerah lemah, sehingga kebijakan nasional sering tereduksi atau bahkan dibelokkan di tingkat lokal.

Keempat,muncul aktor-aktor oportunis yang memanfaatkan situasi politik demi keuntungan pribadi atau kelompok. 

Sebagaimana dicatat oleh Andi Achdian, hasil riil pelaksanaan landreform jauh dari target yang dicanangkan. Tidak sampai sepuluh persen dari target distribusi tanah yang benar-benar terealisasi, sementara konflik horizontal di tingkat desa justru meningkat. Negara hadir sebagai pembuat kebijakan, tetapi absen sebagai penjamin keadilan.

Dari Gagal Teknis ke Gagal Struktural

 Kegagalan reforma agraria sering dijelaskan sebagai kegagalan teknis: kurang data, aparat tidak siap, atau kondisi politik yang tidak stabil. Penjelasan ini problematis karena mengaburkan kegagalan yang lebih mendasar, yakni kegagalan negara membangun reforma agraria sebagai sistem jangka panjang. Reforma agraria direduksi/disederhanakan menjadi peristiwa sesaat, pembagian tanah atau sertifikasi, tanpa diikuti:

1. Kepastian hukum atas tanah yang telah dibagikan, 

2. Pendidikan dan pendampingan agraria,

3. Akses terhadap modal dan teknologi, 

4. Serta sistem distribusi hasil produksi yang adil.

Ketika negara berhenti pada pembagian tanah, maka pasar, spekulator,

dan kekuatan modal dengan cepat mengambil alih. Tanah yang seharusnya menjadi basis kemandirian petani kembali terakumulasi di tangan segelintir pihak. Dalam konteks ini, kegagalan reforma agraria bukan berhenti, melainkan bertransformasi menjadi mekanisme reproduksi ketimpangan.

Kekuasaan, Ketimpangan, dan Pemeliharaan Ketidakberdayaan

 Realitas agraria Indonesia hari ini, di mana ribuan hektare lahan dapat dikuasai oleh satu pihak, menunjukkan bahwa ketimpangan bukan sekadar warisan masa lalu. Ia adalah hasil kerja aktif kekuasaan kontemporer. Negara terbukti mampu mengatur dan melindungi kepemilikan besar melalui hukum, perizinan, dan aparat keamanan. Sebaliknya, petani kecil dan masyarakat adatsering dibiarkan berjuang sendiri dalam konflik agraria. Dalam kerangka ini, kemiskinan, kebodohan, dan ketidakberdayaan

tidak selalu dipandang sebagai masalah yang harus diselesaikan, melainkan sebagai kondisi yang menguntungkan secara politik. Rakyat yang tidak berdaulat atas sumber penghidupannya lebih mudah dikendalikan dan lebih sulit menuntut hak konstitusionalnya. Reforma agraria yang sejati, yang membangun kemandirian ekonomi dan kesadaran politik rakyat, menjadi ancaman bagi kekuasaan yang hidup dari ketimpangan.

Reforma Agraria sebagai Proyek Hidup Mati Bangsa 

Reforma agraria sejatinya adalah proyek peradaban. Bangsa ini berpijak di atas bumi, membangun kehidupan sosial dan ekonomi di atas bumi, dan berbagi kemakmuran melalui pengelolaan bumi. Ketika tanah dikuasai oleh segelintir orang, maka sendi-sendi kebangsaan ikut rapuh. Oleh karena itu, reforma agraria hanya dapat berjalan jika:

1. Kekuasaan diisi oleh insan-insan kompeten yang memahami mandat konstitusi dan berani mengambil risiko politik.

2. Terdapat persatuan antara aktor kekuasaan dan massa rakyat dalam menghadapi tantangan struktural.

3. Koordinasi negara dari pusat hingga pelosok terintegrasi dan konsisten. 4. Reforma agraria dipahami sebagai sistem yang mencakup kepastian hukum, pendidikan, akses modal, dan distribusi produksi hingga ke tingkat global.

Tanpa visi semacam ini, reforma agraria akan terus ditempatkan

sebagai program pinggiran, padahal sejatinya ia adalah poros keadilan sosial dan kedaulatan nasional.

Refleksi 

Kegagalan reforma agraria di Indonesia bukanlah kecelakaan sejarah, melainkan cermin dari cara kekuasaan dijalankan dan direproduksi. Selama negara lebih memilih memelihara ketimpangan daripada menunaikan amanat konstitusi, reforma agraria akan tetap menjadi jargon tanpa isi. Pertanyaan akhirnya bukan lagi apakah reforma agraria penting, melainkan apakah bangsa ini bersedia menjadikannya sungguh-sungguh sebagai dasar hidup bersama

Daftar Bacaan

Achdian, Andi. Tanah bagi yang Tak Bertanah: Landreform pada Masa Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Marjin Kiri, 2017. Fauzi, Noer. Petani dan Penguasa: Dinamika Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2008. Sitorus, Oloan. Konsentrasi dan Konflik Agraria. Yogyakarta: STPN Press, 2004. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Wiradi, Gunawan. Seluk-Beluk Masalah Agraria: Reforma Agraria dan Penelitian Agraria. Yogyakarta: STPN Press, 2009.








Share:


Komentar

Berita Terkini