Etnisitas di Panggung Pemilu Masa Kini
Medan (2/6/2023)- Dewasa ini Indonesia sebagai negara memang dihadapkan oleh berbagai problema yang seringkali sifatnya taklid. Maksudnya ialah masalah yang sudah terjadi beberapa tahun silam kemudian terjadi lagi pada masa-masa sesudahnya (Ibnu Khaldun, 2018 : 76). Hal semacam ini barangkali dapat dilihat ketika menjelang Pemilu, masing-masing partai akan membuat blok tersendiri yang dianggap sebagai pendukung partai atau koalisinya tentu saja dengan kualifikasi tertentu.
Dikatakan sebagai kualifikasi karena memang ada syarat yang harus dipenuhi seorang individu agar supaya masuk dalam gerombolan pendukung partai, anggota partai maupun koalisi, di samping harus memiliki uang, jaringan, dan segala tetek bengeknya. Satu hal lagi yang harus diperhatikan, yakni persoalan etnisitas.
Memanfaatkan etnis sebagai jualan/kampanye untuk memenangkan Pemilu pada zaman sekarang ini sudah banyak sekali contohnya. Salah satu contoh yang bisa diambil secara singkat pada tulisan ini ialah Pilkada Bupati di Pasaman Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2010 yang mempertemukan H. Yusuf Lubis, S.H., M.Si beretnis Mandailing dan Ir. Syafrialis, M.M. beretnis Minang (Nomor Urut 1) dan H. Benny Utama, S.H., M.M. beretnis Minang dan Daniel beretnis Mandailing (Nomor Urut 2). Singkatnya kedua pasangan ini saling memainkan politik etnis untuk mendapatkan dukungan dari masing-masing etnisnya. Semisal wilayah Pasaman haruslah dipimpin orang Minang, artinya diluar etnis tersebut tidak bisa mencalonkan sebagai Bupati. Bilamana ingin ikut menjadi calon di luar etnis Minangkabau hanya diperbolehkan sebatas calon Wakil Bupati saja (Alexsander Yandra, 2010 : 4).
Polarisasi Etnisitas di Ajang Pemilu Buah Tangan Para Pendahulu Bangsa
Narasi di atas hanya satu contoh kecil karena belum membahas bagaimana kelompok etnis diorganisir untuk memilih paslon tertentu. Nah, untuk mendapatkan benang merah peristiwa semacam itu bagaimana etnisitas dimainkan oleh partai politik sebagai bahan kampanye baiknya melihat pra Pemilu 1955 di Indonesia. Bila membaca sejarah pergerakan di Indonesia para pendahulu bangsa ini membentuk perkumpulan Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon dan lain sebagainya.
Walaupun pada perkembangannya para pendahulu bangsa membentuk organisasi memakai nama “Indonesia” bukan berarti semua etnis ada di dalamnya katakanlah itu PNI yang dibentuk Sukarno pada 1927 yang mengisi organisasi ialah kebanyakan orang Jawa baik itu di Pulau Jawa maupun di Pulau Sumatera. Masa pendudukan Jepang pun demikian, yang punyai potensi tertentu seperti menanam padi di Sumatera Timur dilakukan oleh orang-orang Toba sehingga interaksi antar etnis secara simultan sangat minim terjadi (Suprayitno, 2001 : 46).
Pemilu 1955 Sumatera Timur menjadi salah satu wilayah yang cukup terpolarisasi dengan mengambil dua contoh wilayah Simalungun Bawah, Pematang Siantar, Simalungun Atas, dan Medan. William Liddle yang sangat serius meneliti persoalan etnis menjelang Pemilu 1955 di Sumatera Timur ia membentangkan studi kasus di Simalungun Bawah, Pematang Siantar, dan Simalungun Atas yang masing-masing memperlihatkan keunikannya dalam polarisasi etnis.
Simalungun Bawah secara etnis didominasi oleh etnis Jawa mengingat wilayah ini merupakan hasil rancangan Belanda sebagai daerah perkebunan kecenderungan mereka ialah memilih PNI karena partai ini mereka sebagai partai Jawa dan mewakili nasib wong cilik. Sementara itu di Pematang Siantar yang tentu saja dinamikanya berbeda dari wilayah Simalungun Bawah dan Atas. Masyarakat di sini didominasi orang-orang Toba dan mempunyai pemahaman yang mencurigai konsep-konsep perpolitikan sehingga sangat mengherankan wilayah ini dimenangkan oleh Masyumi padahal etnis Mandailing hanya 20%. Liddle justru memberikan alasan mengapa ini bisa terjadi karena apatisme politik di perkotaan dan terjadi pembagian suara di luar kecenderungan etnis. Wilayah Pematang Siantar ynag notabenenya 40% dikuasai orang Toba justru memberikan suaranya kepada Masyumi dan PNI bukan kepada Parkindo yang sudah dianggap sebagai partai orang-orang Toba karena kesamaan etnis dan agama. Terakhir wilayah Simalungun Atas, wilayah yang sangat jarang tersentuh dari tangan orang-orang luar karena cukup terisolir. Simalungun Atas didominasi orang-orang Simalungun atau dapat dikatakan sebagai “aslinya Simalungun”. Karena ingin mempertahankan tradisi leluhur wilayah ini kemudian membentuk Kebangun Rakyat Simalungun Sumatera Timur (KRRST) sebagai wahana politik untuk memenangkan Pemilu. Upaya yang dilakukan cukup berhasil karena di wilayah ini KRRST berada di posisi teratas diikuti PNI dan Parkindo.
Tabel Perolehan suara masing-masing partai politik di tiga tempat yang berbeda diolah dari buku Partisipasi dan Partai Politik Indonesia pada Awal Orde Baru karya William Liddle.
Sementara di metropolitannya Sumatera Timur yakni Medan polarisasi etnis sebelum dan saat Pemilu 1955 dilaksanakan telah berlangsung. Etnis Mandailing dan Minangkabau misalnya bersatu padu mendukung Masyumi sebagai pilihan politiknya. Pilihan etnis Mandailing dan Minangkabau jatuh pada Masyumi selain perihal etnik, juga ada cita-cita untuk mewujudkan kebijkan-kebijakan yang Islami di dalam tubuh Republik ini karena mayoritas etnis Mandailing dan Minangkabau memeluk agama Islam (Pelly, 2007 : 199).
Etnis Tionghoa mendukung BAPERKI, selain karena satu etnis juga untuk memperjuangkan eksistensi orang-orang Tionghoa yang saat itu mengalami problema kewarganegaraan. Etnis Karo sendiri yang dikenal sebagi orang-orang nasionalis lebih banyak memilih PNI. Ini sama sekali tidak mendahului etnis lain pada persoalan nasionalisme memang begitu fakta sejarahnya. Etnis Jawa yang sudah menjadi mayoritas di Medan juga banyak memilih PNI utamanya mereka bekas kuli kontrak perkebunan. Sementara etnis Toba dan Simalungun terbagi secara acak ada yang memilih Parkindo karena kesamaan agama. Etnis Toba dan Simalungun yang saat itu berprofesi sebagai petani sejak zaman Jepang cenderung memilih PKI (Waspada, 09 Oktober 1954).
Pemilu pun dilaksanakan dengan kemenangan telak Masyumi dengan mengangkangi PNI, PKI maupun NU. Jumlah total suara yang masuk sebesar 90.442 suara, sedangkan untuk konstituante sendiri perolehan suara tidak jauh berbeda. Dengan pembagian kursi Masyumi ( 11 kursi ), PNI ( 5 kursi), PKI ( 2 kursi ), Parkindo ( 2 kursi ), NU ( 1 kursi ), PSI ( 1 kursi ), Baperki ( 1 kursi ), PPPRI ( 1 kursi ), dan PSII ( 1 kursi ) (Djawatan Penerangan, 1959 : 176).
Pembelahan etnisitas itu memang benar terjadi di Simalungun dan Medan atas buah tangan para pendahulu bangsa ini. Bukan menyalahkan para pendahulu bangsa ini, alangkah baiknya generasi sekarang mempertimbangkan peristiwa lampau untuk melihat masa kini. Memang tidak ada jaminan, apalagi telah duduk di kursi panas kekuasaan. Tetapi semua pihak mengharapkan yang terbaik, sebagaimana demokrasi memberikan harapan untuk mencapai pemerintahan yang ideal.
Referensi :
Djawatan Penerangan. (1959). Kota Pradja Medan. Jakarta : Djawatan Penerangan RI
Khaldun, Ibnu. (2018). Mukaddimah. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Liddle, William. (1992). Partisipasi dan Partai Politik Indonesia pada Awal Orde Baru. Jakarta : Grafiti.
Pelly. Usman. (2007). Urbanisasi dan Adaptasi : Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta : YOI.
Suprayitno. (2001). Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia. Yogyakarta : YUI.
Waspada, 09 Oktober 1954.
Waspada, 29 September 1955.
Yandra, Alexander. (2010). Politik Etnisitas dalam Pemilu Kada (Studi Kasus dalam Pelaksanaan Pemilu Kada Bupati dan Wakil Bupati di Pasaman Provinsi Sumatera Barat. Pekanbaru Unilak.
Yandi Syaputra Hasibuan_ Alumnus S2 Ilmu Sejarah FIB USU