MEDAN - Rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI memasukkan kembali peraturan pelarangan terpidana korupsi untuk mencalon menjadi calon kepala daerah dalam pilkada langsung serentak tahun 2020 dalam Peraturan KPU (PKPU) pencalonan mendapat tanggapan dari sejumlah pihak.
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Sumut Prof Dr Mirza Nasution SH MHum menilai dari kacamata hukum langkah KPU RI tidak tepat atau norma hukumnya menyalah kalau meletakkan norma (larangan) itu di level PKPU.
"Seharusnya hal itu diletakkan di peraturan lebih tinggi peraturan sumbernya setingkat perundang-undangan," ujarnya kepada wartawan ketika ditemui di Fakultas Hukum USU, Kamis (14/11/2019).
Jika berkaca pemilu 2019 lalu, di mana KPU juga telah memasukkan peraturan serupa tetapi kandas ketika diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dalam UU tidak ada mengatur hal demikian.
Sebab, berdasarkan kacamata konstitusi, mencalonkan diri atau dicalonkan merupakan hak fundamental atau hak azasi sebagai warga negara. Sehingga ketika diuji ke MK, PKPU langsung gugur.
Menurutnya, MK menilai, para koruptor yang telah selesai menjalani hukumnya. Jadi secara hukum ia telah proporsional untuk mencalon.
Karenanya MK mengabulkan permohonan judicial review (JR) mereka ini, karena jangan sampai orang bersalah itu setelah di hukum hak dasar mereka tercederai. Hak dasar itu jangan diganggu sebab mereka (para koruptor) selesai menjalani masa hukuman.
Di satu sisi, lanjutnya, ajakan atau norma hukum yang dibuat KPU RI sebenarnya sudah benar, tidak ada salahnya. Tetapi tidak tepat diletakkan dijenjang hirarki PKPU.
"Salah muat ini. Muatannya tidak di situ seharusnya. Kalau mau dinormakan, harusnya di dalam level undang-undang yang diusulkan eksekutif dan legislatif (presiden-DPR)," paparnya.
Meski demikian, Mirza mengakui kalau niat KPU RI ini sudah baik, ia mengapresiasi hal ini. Artinya KPU telah berpartisipasi untuk mencegah. "Sampai di sini sudah betul.
Ini persoalan teknik penormaan, yang masih belum tepat. Ini kan niatnya untuk menegakkan hukum. Jadi perlu kehati-hatian tidak bisa asal-asalan gitu saja. Untuk itu ada persyaratannya, ada ilmunya. Kita tidak mengatakan KPU salah, tetapi jangan di PKPU menempatkan larangan itu.
Nanti salah muat. Sebab di tempat lebih tinggi tidak ada melarang hal itu, supaya tidak kecolongan lagi seperti yang lalu," tukasnya sembari menyatakan seleksi calonnya jangan dimuat dalam norma itu karena menyangkut materi muatan tetapi dalam hierarki perundang-undangan itu.
Tidak paham fungsinya
Di tempat terpisah, Kepala Pusat Studi HAM (Pusham) Unimed Majda El Muhtaj kepada wartawan, Kamis sore mengutarakan, langkah KPU untuk membatasi hak politik mantan warga binaan pemasyarakatan (WBP) merupakan ketidak pahaman fungsi KPU sebagai pelaksanaan ketentuan undang-undang.
Menurutnya, titik fungsi pembentukan undang-undang ada pada DPR dan pemerintah.
"Norma-norma pembatasan hak politik mantan WBP melalui PKPU merupakan bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan KPU dan sepenuhnya harus ditolak. Jika pembatasan hak politik menjadi pidana tambahan dan dihitung putusan hakim hal itu dibenarkan karena dipandang mampu mencapai tujuan-tujuan pemidanaan. Jika WBP sudah selesai menjalani semua pidana yang diputuskan hakim mantan WBP adalah orang yang bebas dengan hak-hak yang melekat pada mereka sebagai manusia termasuk hak memilih dan dipilih," tegasnya.
Lebih lanjut dikatakannya, PKPU tidak ada kaitannya dengan upaya pemberantasan korupsi kecuali dengan putusan hakim yang telah inkracht menetapkan pidana tambahan mencabut hak politik untuk jabatan publik. "Itupun harus dengan pembatasan waktu tertentu," tukasnya.(Irn/MS)
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Sumut Prof Dr Mirza Nasution SH MHum menilai dari kacamata hukum langkah KPU RI tidak tepat atau norma hukumnya menyalah kalau meletakkan norma (larangan) itu di level PKPU.
"Seharusnya hal itu diletakkan di peraturan lebih tinggi peraturan sumbernya setingkat perundang-undangan," ujarnya kepada wartawan ketika ditemui di Fakultas Hukum USU, Kamis (14/11/2019).
Jika berkaca pemilu 2019 lalu, di mana KPU juga telah memasukkan peraturan serupa tetapi kandas ketika diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dalam UU tidak ada mengatur hal demikian.
Sebab, berdasarkan kacamata konstitusi, mencalonkan diri atau dicalonkan merupakan hak fundamental atau hak azasi sebagai warga negara. Sehingga ketika diuji ke MK, PKPU langsung gugur.
Menurutnya, MK menilai, para koruptor yang telah selesai menjalani hukumnya. Jadi secara hukum ia telah proporsional untuk mencalon.
Karenanya MK mengabulkan permohonan judicial review (JR) mereka ini, karena jangan sampai orang bersalah itu setelah di hukum hak dasar mereka tercederai. Hak dasar itu jangan diganggu sebab mereka (para koruptor) selesai menjalani masa hukuman.
Di satu sisi, lanjutnya, ajakan atau norma hukum yang dibuat KPU RI sebenarnya sudah benar, tidak ada salahnya. Tetapi tidak tepat diletakkan dijenjang hirarki PKPU.
"Salah muat ini. Muatannya tidak di situ seharusnya. Kalau mau dinormakan, harusnya di dalam level undang-undang yang diusulkan eksekutif dan legislatif (presiden-DPR)," paparnya.
Meski demikian, Mirza mengakui kalau niat KPU RI ini sudah baik, ia mengapresiasi hal ini. Artinya KPU telah berpartisipasi untuk mencegah. "Sampai di sini sudah betul.
Ini persoalan teknik penormaan, yang masih belum tepat. Ini kan niatnya untuk menegakkan hukum. Jadi perlu kehati-hatian tidak bisa asal-asalan gitu saja. Untuk itu ada persyaratannya, ada ilmunya. Kita tidak mengatakan KPU salah, tetapi jangan di PKPU menempatkan larangan itu.
Nanti salah muat. Sebab di tempat lebih tinggi tidak ada melarang hal itu, supaya tidak kecolongan lagi seperti yang lalu," tukasnya sembari menyatakan seleksi calonnya jangan dimuat dalam norma itu karena menyangkut materi muatan tetapi dalam hierarki perundang-undangan itu.
Tidak paham fungsinya
Di tempat terpisah, Kepala Pusat Studi HAM (Pusham) Unimed Majda El Muhtaj kepada wartawan, Kamis sore mengutarakan, langkah KPU untuk membatasi hak politik mantan warga binaan pemasyarakatan (WBP) merupakan ketidak pahaman fungsi KPU sebagai pelaksanaan ketentuan undang-undang.
Menurutnya, titik fungsi pembentukan undang-undang ada pada DPR dan pemerintah.
"Norma-norma pembatasan hak politik mantan WBP melalui PKPU merupakan bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan KPU dan sepenuhnya harus ditolak. Jika pembatasan hak politik menjadi pidana tambahan dan dihitung putusan hakim hal itu dibenarkan karena dipandang mampu mencapai tujuan-tujuan pemidanaan. Jika WBP sudah selesai menjalani semua pidana yang diputuskan hakim mantan WBP adalah orang yang bebas dengan hak-hak yang melekat pada mereka sebagai manusia termasuk hak memilih dan dipilih," tegasnya.
Lebih lanjut dikatakannya, PKPU tidak ada kaitannya dengan upaya pemberantasan korupsi kecuali dengan putusan hakim yang telah inkracht menetapkan pidana tambahan mencabut hak politik untuk jabatan publik. "Itupun harus dengan pembatasan waktu tertentu," tukasnya.(Irn/MS)