![]() |
| Teks Foto: Ketua PWI Sumut Farianda Putra Sinik,SE.(Foto/Ist) |
Oleh Zulfikar Tanjung (Penasihat PWI Sumut)
MEDIASELEKTIF.COM - Ada pengalaman personal yang kerap kali terasa kecil, nyaris sepele, namun justru menyimpan makna besar ketika direnungkan lebih dalam.
Pengalaman itu saya alami berulang kali selama beberapa tahun terakhir sejak mengenal Ketua PWI Sumatera Utara, Farianda Putra Sinik.
Dalam berbagai kesempatan, di tempat dan urusan yang sama sekali berbeda, tanpa janji, tanpa kesepakatan, bahkan tanpa saling memberi kabar, kami justru sering bertemu di masjid.
Bukan di satu masjid yang sama, tetapi di masjid-masjid yang berbeda. Kadang di pusat kota, kadang di pinggiran. Kadang di sela kegiatan organisasi, kadang di antara jadwal liputan, rapat, atau perjalanan tugas.
Pertemuan itu bukan direncanakan. Kami tidak janjian. Kami sama-sama datang dengan urusan masing-masing. Namun waktu salat mempertemukan kami dalam satu ruang yang sama: masjid.
Dari situ saya menangkap satu hal penting: di tengah kesibukan yang padat, tanggung jawab organisasi, tekanan profesi, dan dinamika dunia pers yang tak pernah sepi, masih ada kesadaran untuk berhenti sejenak, menundukkan kepala, dan menjaga hubungan dengan Tuhan.
Bagi saya, itu bukan hal kecil. Justru di situlah letak maknanya. Sebagai pemimpin organisasi profesi wartawan terbesar, Ketua PWI tidak hanya diuji oleh kecakapan manajerial atau keluwesan berkomunikasi, tetapi juga oleh keteguhan karakter.
Masjid atau rumah ibadah bagi pemeluk agama apa pun adalah salah satu ruang paling jujur dalam membentuk karakter itu.
Di sana, semua atribut duniawi ditanggalkan. Jabatan, pengaruh, dan status sosial luruh dalam satu barisan yang sama.
Keseimbangan Kepemimpinan
Pengalaman bertemu berulang kali di masjid itu memberi saya keyakinan bahwa kepemimpinan yang sehat bertumbuh dari keseimbangan antara kesibukan lahiriah dan ketenangan batin.
Seorang pemimpin yang hatinya terpaut dengan masjid cenderung memiliki ruang refleksi, kemampuan menahan diri, dan kepekaan moral yang lebih terjaga.
Bagi organisasi seperti PWI, hal ini memiliki makna strategis. Pers adalah profesi yang setiap hari bergulat dengan fakta, konflik, kepentingan, dan tekanan.
Tanpa fondasi etika yang kuat, pers mudah tergelincir menjadi sekadar alat, bukan penyangga demokrasi.
Dari masjid atau rumah ibadah wartawan belajar tentang kejujuran, amanah, kesabaran, dan tanggung jawab, nilai-nilai yang sejatinya merupakan inti jurnalisme itu sendiri.
Pertemuan tanpa janji di masjid itu juga mengajarkan satu hal penting tentang kepemimpinan: keteladanan tidak selalu lahir dari podium atau pidato panjang. Ia sering justru hadir dalam tindakan-tindakan sunyi, yang tidak dipublikasikan, tidak didokumentasikan, dan tidak diniatkan untuk pencitraan.
Kuat dan Otentik
Dalam konteks ini, saya melihat Farianda Putra Sinik bukan sedang “memperlihatkan” religiusitas, melainkan sedang “menjalani” rutinitas spiritualnya secara wajar. Justru karena itu kesannya menjadi kuat dan otentik.
Pesan ini penting saya sampaikan sebagai wacana bagi seluruh anggota PWI. Bahwa sesibuk apa pun kita dengan deadline, liputan, rapat, atau urusan organisasi selalu ada ruang untuk kembali ke pusat nilai.
Bagi umat Islam, masjid adalah pusat itu. Bagi pemeluk agama lain, rumah ibadah memiliki fungsi yang sama: tempat menata hati, menimbang ulang arah, dan memperkuat komitmen moral.
Manfaatnya tidak hanya bersifat personal, tetapi juga institusional. Organisasi yang dipimpin oleh orang-orang dengan kedalaman spiritual cenderung lebih tenang dalam mengambil keputusan, lebih adil dalam menyikapi perbedaan, dan lebih tahan menghadapi tekanan eksternal. Kepercayaan publik pun tumbuh bukan karena slogan, melainkan karena konsistensi sikap.
Bagi masyarakat dan para pemangku kepentingan pers, pengalaman ini memberi pesan sederhana namun mendalam: pers yang sehat lahir dari insan pers yang utuh. Utuh secara intelektual, profesional, dan spiritual. Ketika pemimpin pers menjaga janjinya dengan waktu salat atau dengan panggilan imannya di situlah kita bisa berharap lahirnya kepemimpinan yang jernih, berimbang, dan berpihak pada kebenaran.
Pada akhirnya, pertemuan-pertemuan tanpa janji di masjid itu bukan sekadar kebetulan. Ia adalah isyarat bahwa di tengah riuh dunia pers, masih ada ruang hening yang dijaga. Dan dari ruang hening itulah, sering kali, arah kepemimpinan yang paling bermakna justru ditentukan. (Penulis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers)
